Wednesday 15 January 2014

Belajar dari shut down Bangkok, Thailand

Hari itu 12 Januari aku berkunjung ke negeri gajah putih, bukan untuk menyaksikan demo besar yang akan terjadi, melainkan aku memang sudah berada di kota ini dari tanggal 31 Desember. Aku sudah memesan tiket pesawat dari jauh hari untuk mengunjungi negeri ini, namun di luar dugaan kota ini mengamuk meminta perhatian dunia bahwa suara rakyat negeri ini ingin di dengar,

Mereka datang dari seluruh penjuru daerah. Berkumpul,bersatu, dan bersuara  di pusat kota Bangkok. Pusat segala aktivitas pemerintahan dan bisnis negeri gajah putih. Mereka tidak anarkis. Sejauh mata memandang apa yang aku saksikan di malam itu hanya suatu festival. Nama festival itu ratan
nakoasin, aku menonton pertunjukan yang menceritakan raja dan ratu Thailand. Aku menggambar bersama anak-anak kecil, menyantap makanan tradisional secara gratis, menyaksikan fire dancing,dan tak lupa aku berjalan mengelilingi stand yang ada di dalam festival itu hingga aku kembali ke hostel. Penuh suka cita di dalam festival ini.

Namun ternyata, pada waktu yang bersamaan di daerah grand palace terjadi penembakan. Entah bagaimana awal ceritanya, aku hanya mendapat info sekilas itu dari seorang teman Thailand. Ia memberitahuku bahwa ada korban tewas dalam kejadian tersebut. Mendengar hal tersebut, aku hanya heran aku tidak merasakan ancaman atau hal yang mengkhawatirkan, malah aku bahagia bersama dengan turis mancanegara ataupun rakyat Thailand itu sendiri.

Dan akhirnya pada tanggal 13 Januari, kejadian Bangkok shutdown pun berlangsung secara besar-besaran. Semua bis di Bangkok tidak beroperasi. Aku hanya memilih berdiam diri di kawasan khoasan road. Daerah dimana pusat turis mancanegara tinggal. Aku takjub dengan kota ini, aku tidak pernah melihat turis mancanegara sebanyak ini di Jakarta. Para turis mancanegara seolah tidak larut dalam situasi demo, mereka tetap beraktivitas. Berkumpul di café, di club, jalan-jalan di sekitaran khoasan. Semua berjalan normal tidak ada yang dikhawatirkan dalam benak mereka.

Sambil berkeliling di daerah khoasan road aku pun menyaksikan demontrasi yang besar itu di televisi jalanan, sungguh situasi yang luar biasa besar. Mereka, rakyat Thailand mengibar-ibarkan bendera Thailand, bernyanyi, bersorak akan perubahan di dalam tubuh pemerintahan mereka. Kota ini seolah jatuh di tangan rakyat. Namun apa yang aku lihat mereka tidak membakar ban, tidak rusuh, tidak bentrok dengan polisi semua berjalan dengan damai. Tidak heran walau situasi yang mengkhawatrikan yang diberitakan di media massa turis mancanegara tetap asik berwisata di ibukota negeri gajah putih ini.


Aku mendambakan Jakarta atau kota-kota di negeriku Indonesia, jika berdemo bisa seperti ini. Berkumpul, bersatu, dan bersuara. Namun tidak anarkis. Kita perlu dan berhak menyuarakan aksi kita. Karena pemerintahan tanpa rakyat itu bukanlah Negara.

No comments:

Post a Comment